Hukum Perdata
Contoh Kasus
Pembagian Harta Warisan Ayah,
Ketika Ibu Masih Hidup
Imam memiliki lima
saudara. Salah satu saudara meminta agar semua warisan alm. bapak segera
dibagikan padahal sang ibu masih hidup. Bagaimana pandangan kasus ini menurut
hukum KUHPerdata dan Hukum Agama Islam? Dan bagaimana pembagiannya?
Jawaban :
Saudara Imam yang
kami hormati, terima kasih atas pertanyaan Saudara.
Aturan mengenai Perkawinan dan Mewaris yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), berlaku untuk golongan WNI Timur Asing Tionghoa, yang
bukan beragama Islam. Dalam Pasal 852 KUHPerdata dinyatakan antara lain
bahwa :
·
Ahli waris
adalah anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain
perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek nenek atau semua
keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas dengan tiada
perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan antara kelahiran lebih
dahulu.
·
Mereka
mewaris kepala demi kepala jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga
dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri;
mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian
mereka bertindak sebagai pengganti.
·
Dalam
halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih
dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama dipersamakan dengan seorang anak
yang sah dari yang meninggal.
Berdasarkan ketentuan di atas berarti anak-anak keturunan berhak mewaris
dari orang tua atau kakek-nenek dan keluarga sedarah dengan jumlah bagian yang
sama. Begitu pula istri, memiliki hak dan besaran warisan seperti halnya anak
sah.
Tetapi secara umum
untuk semua WNI, ada hukum positif yang berlaku untuk kita semua, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU
Perkawinan”) yang juga memiliki kaitan dengan masalah warisan, karena adanya
ketentuan mengenai Harta Bersama.
Di dalam UU
Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan pada Pasal 35,
yang menyatakan:
1.
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.
Harta
bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Ini artinya, bahwa:
a.
Selama
masa perkawinan Bapak dan Ibu, sekalipun hanya Bapak saja yang bekerja mencari
nafkah dan mengumpulkan harta, maka Ibu-pun berhak atas setengahnya dari harta
perolehan Bapak tersebut, begitu pula sebaliknya.
b.
Dan jika
mau dibagi “WARISAN BAPAK”, maka yang dimaksud dengan WARISAN BAPAK di dalam UU
Perkawinan ini, adalah setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang diperoleh
selama masa perkawinan Bapak dan Ibu, ditambah:
§
Harta
Bawaan Bapak (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh beliau sebelum masa
pernikahan dengan Ibu.
§
Juga bisa
jadi Bapak memperoleh hadiah dari seseorang, dari keluarganya atau lembaga,
maka itu juga bisa dimasukkan ke dalam Harta WARISAN BAPAK.
§
Satu lagi
adalah warisan yang diperoleh Bapak dari Pihak keluarganya, maka harta warisan
tersebut dimasukkan kedalam kelompok HARTA WARISAN BAPAK, yang akan dibagikan
kepada semua ahli warisnya.
Dan untuk yang
beragama Islam, dikhususkan lagi pengaturannya dalam Kompilasi Hukum Islam(“KHI”),
yang mengatur mengenai Harta Bersama yang menyatakan:
1.
Pasal 85:
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau isteri.
2.
Pasal 86:
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan
dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
3.
Pasal 87:
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri
dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal-pasal KHI
tersebut berarti:
a.
Sekalipun
ada Harta Bersama dalam Perkawinan, tetapi bisa saja ada harta masing-masing,
yang bisa berupa harta bawaan sebelum perkawinan, harta warisan yang diperoleh
setelah perkawinan, ada hadiah yang diterima salah satu pihak ketika dalam
perkawinan, atau bisa juga karena diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan.
b.
Bahwa
terhadap harta-harta pada poin a, tidak ada percampuran, dan masing-masing
berhak mengakuinya sebagai harta pribadinya. Dan berhak bertindak untuk dan
atas nama dirinya sendiri.
Jika ada ahli waris yang meminta dilakukannya pembagian WARISAN BAPAK, maka
hanya harta milik Bapak sajalah yang bisa dibagikan terlebih dahulu. Yang milik
Ibu, dipisahkan. Secara teknis memang agak repot, jika ingin dibagikan
langsung, karena terkadang Ibu tidak memiliki uang untuk meng-uang-kan harta
bagian Bapak, sehingga yang bisa dilakukan adalah menjual HARTA BERSAMA Bapak
dan Ibu, kemudian hasilnya dibagi dua. Bagian Ibu diserahkan kepada Ibu
pemanfaatannya. Apakah akan dibelikan rumah pengganti, atau untuk peruntukkan
lainnya. Yang perlu diingat juga, bahwa sekalipun Ibu sudah menerima ½ dari
HARTA BERSAMA, beliau masih berhak atas bagian dalam kedudukannya sebagai istri
(sebesar 1/8 dari Harta WARISAN Bapak, jika ada anak). Sesuai dengan ketentuan
Hukum Islam yang berlaku.
Tetapi bisa juga pengurusan pembagian WARISAN BAPAK, tetap dilakukan, hanya
sekadar untuk mengetahui siapa saja ahli waris dan bagiannya masing-masing,
sementara eksekusinya belum dilaksanakan dahulu. Hal ini bisa dilakukan dengan
pertimbangan misalnya karena Ibu masih menempati (dalam hal warisan berupa
sebuah rumah) karena didalamnya juga terdapat harta bagian Ibu, apalagi Ibunya
masih ada. Jadi, bergantung kesepakatan bersama saja.
Sementara, jika
kita mengacu kepada Hukum Islam (yang bukan hukum positif yang sudah berlaku di
Indonesia), yang tidak mengenal konsep HARTA BERSAMA, maka jika Bapak meninggal
dan harta tersebut adalah harta pencarian Bapak, selama hidupnya, maka harta
tersebut bisa dibagikan, dengan memastikan terlebih dahulu, dilunasinya
utang-utang beliau, juga dikeluarkannya hak Ibu, misalnya dalam hal Ibu Anda
pernah dihadiahi sesuatu ketika Bapak masih hidup. Atau ada harta Ibu yang
tercampur di dalamnya, misalnya apakah itu hadiah, atau warisannya.
Sebagai catatan tambahan, saya ingin menginformasikan bahwa di dalam Hukum Islam
ketiadaan harta bersama dalam perkawinan ini sebenarnya dapat diantisipasi
dengan MAHAR ketika seorang perempuan akan dinikahi. Seorang calon istri berhak
meminta MAHAR yang diinginkannya, yang bisa saja misalnya berupa sebuah rumah
(atau yang lainnya). Jika suaminya tidak panjang umur dan meninggal terlebih
dahulu, kemudian yang diberlakukan adalah Hukum Islam murni (bukan hukum
positif Indonesia, yaitu harta selama perkawinan dianggap sebagai HARTA
BERSAMA), maka untuk pihak istri, dia telah memiliki tempat tinggal yang layak.
Dan ketika suaminya meninggal, maka ia hanya berhak mendapatkan warisan dari
suaminya sebesar 1/8 (seperdelapan) bagian jika ada anak, dari Harta WARISAN
Suaminya tersebut.
Adapun mengenai
bagian masing-masing ahli waris, setelah dipisahkannya HARTA WARISAN BAPAK,
yang akan dibagi, harus didata siapa saja ahli warisnya.
Apakah Bapak masih memiliki orang tua kandung (Kakek dan Nenek)? Kalau
masih, maka merekapun berhak menjadi ahli waris Bapak. Jika ada anak-anak maka
bagiannya masing-masing 1/6. Tetapi, untuk Ibu-nya Bapak, ada catatan: Pertama,
apabila Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan, atau cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki; Kedua, apabila Pewaris memiliki saudara yaitu
dua orang saudara atau lebih.
Selain itu Istri, jika ada anak-anak, maka bagiannya 1/8. Dan masing masing
anak mendapatkan sisanya setelah dipotong bagian Kakek/Nenek dan Ibu, dengan
pembagian laki-laki dan perempuan 2:1.
Daftar Pustaka :
Nama Kelompok :
1.
Emiliana Cundawan (23214555)
2.
Feshanti Safitri Aisyah (24214188)
3.
Fikri Abdillah Gani (24214211)
4.
Hanisah (24214768)
Kelas : 2EB10
Komentar
Posting Komentar